Showing posts with label Cerpen. Show all posts
Showing posts with label Cerpen. Show all posts

Lauk Dari Langit | Cerpen: Danarto

0



Hari masih pagi ketika gadis kecil itu berjingkrak-jingkrak ke sana ke mari sambil berteriak-teriak, "Hujan ikan! Hujan Ikan!" Kepalanya menengadah menatap angkasa mencari tahu apakah ada lubang menganga nun di atas sana dari mana ikan-ikan melayang beramai-ramai terjun ke bumi. Gadis kecil itu juga berlari mengitari gubuk tempat tinggalnya dengan teriakan tak berkeputusan, "Hujan ikan! Hujan ikan!"


Ayah dan ibunya, juga dua kakaknya muncul dari dalam gubuk sambil menatap ke udara. Sesaat ratusan ekor ikan menghujani keluarga itu. Dengan mulut menganga, beruntun ucapan "masya Allah", tak disadari keajaiban sedang berlangsung di kediaman mereka.


"Hujan ikan! Hujan ikan!" teriakan gadis kecil itu terus-menerus penuh kegembiraan.


Keluarga itu lalu memunguti dengan cekatan ratusan ekor ikan yang berserakan di rerumputan pelataran, kebun, dan atap gubuk mereka. "Subhanallah," berulang-ulang terlantun dari mulut mereka. Apa yang sedang terjadi dengan langit? Mengapa hujan ikan seolah-olah disajikan kepada mereka? Hujan ikan sesaat yang meluncurkan ratusan ekor ikan dari langit, apakah ini berkah? Apakah ini bencana? Mereka mencoba memahami kehendak Tuhan yang tak terduga, seperti halnya memahami hidup mereka sendiri yang serba jauh dari pengandaian.


Kelihatan keluarga ini tak biasa berandai-andai. Hidup sehari-hari keluarga yang berkebun sayuran ini penuh kepastian. Kerja keras dan bersyukur kepada Tuhan. Sebuah keluarga dengan tiga anak, dua lelaki, satu perempuan, tahu apa yang harus dilakukan. Hidup terpencil di sebuah bukit, mereka tampak bebas menggarap lahan yang ada hampir-tak berbatas. Bayam, kangkung, kul, singkong, kacang panjang, cabai, sudah bertahun-tahun menghidupi keluarga ini sejak pengantin baru.


Merasa tak bisa hidup di kota, suami istri itu memilih menetap di sebuah bukit. Dengan tetangga yang berjauhan, keduanya merasakan kebebasan. Bukit yang tanpa tuan, keduanya serta-merta -- sebagaimana para tetangganya -- menjadi pemilik sepenggal lahan kebun yang dipilihnya secara bebas. Tangan-tangan Pemda boleh jadi tidak memadai jumlahnya untuk bisa mengurusi lahan perkebunan atau pertanian di daerah perbukitan itu, mengingat luasnya tanah dan sedikitnya minat penduduk untuk tinggal di situ sehingga terkesan siapa pun boleh mengolah tanah itu seberapa pun maunya. Mau menanam apa saja, tak ada yang melarang, tak ada juga yang mengizinkan. Sampai akhirnya keduanya beranak-pinak. Mereka berbahagia.


Sebagaimana para tetangganya, setiap saat keluarga itu dapat memperluas lahannya dengan leluasa. Disamping sayur-mayur, keluarga itu mencoba menanam kembang. Di antaranya anggrek. Namun sejauh ini belum dapat diukur keberhasilan usaha kebun anggrek itu. Sedang sayur-mayur yang menjadi kebutuhan sehari-hari, keluarga itu menjualnya kepada pedagang yang mengambilnya dan memasarkannya di kota. Dari sini keluarga itu hidup cukup memadai.


Jarak yang cukup jauh dari kota menyebabkan para penghuni perbukitan itu cukup sulit menyekolahkan anak-anaknya. Si bungsu, gadis kecil itu, sekitar enam tahun usianya, yang suka berjingkrak-jingkrak, hidup menyatu dengan kangkung, bayam, kacang panjang, burung, tikus, dan kijang. Gadis kecil itu sering ngobrol dengan burung maupun tikus yang berseliweran di sekitar kebun itu. Pada suatu hari, dia melihat kijang di kejauhan dan memanggilnya. Kijang itu nampak bengong, heran, ada seorang gadis kecil yang barangkali terlalu berani memanggil binatang yang punya tanduk itu. Kenapa tidak?


Satu saat, keluarga itu kedatangan tamu. Dari kota, tamu itu mencatat jumlah orang di keluarga itu. Hanya begitu saja. Petugas itu tak menanyakan soal lain, misalnya soal surat izin tinggal dan menggarap lahan. Barangkali saja, petugas itu tidak mau repot untuk menanyai ini dan itu, sementara pekerjaan di kantor sudah cukup melelahkan. Kemurnian hati para petugas kota dan keluarga itu agaknya terjalin baik sehingga urusan kartu keluarga dan tetek-bengek lainnya tidak perlu harus menguras keringat dan lain sebagainya.


Dari atas bukit itu, pemandangan kota tampak tergelar dengan jelas. Kesibukan kota dengan lalu-lalang lalu-lintasnya merupakan pemandangan yang menarik untuk mendorong siapa pun bekerja keras. Di malam hari, pemandangan kota lain lagi daya pikatnya. Lampu-lampu rumah, toko, jalan raya, dan lampu-lampu kendaraan yang susul-menyusul di malam gelap memberi suasana kehidupan yang lain dari kehidupan senyatanya. Di malam hari, kota tak perlu nama. Di malam hari, kota mencipta dunia yang tak dikenal manusia. Mengaduk rasa ramai di hati dan rasa tentaram di perasaan.


Sarapan kali ini mencatat hujan ikan disajikan di meja makan. Setelah sujud syukur berjamaah, keluarga itu mengitari meja makan. Meja makan dari anyaman bambu yang dibuat sendiri, merekam suara reyot, kri-et... kri-et... setiap meja makan itu disentuh atau pun ditindih. Makan pagi keluarga itu menikmati lauk-pauk ikan yang berlimpah. Belum pernah terjadi sebelumnya. Biasanya, lauk hanya terdiri dari ikan asin dan sambal terasi di antara sayuran yang direbus dengan garam.


Sebelum makan, mereka berdoa. Mereka makan ikan yang dibakar sebanyak yang mereka suka. Anak-anak sangat menikmati. Mereka bertiga terus menambah ikannya. Di antara bunyi kecap bibirnya dan pergulatan lidahnya dengan ikannya, ketiga anak itu juga asyik ngobrol, hal yang sebelumnya tidak dibolehkan ayah dan ibunya. Ngobrol waktu makan hanya akan menjauhkan berkah Allah, kata ayah dan ibunya. Doanya tidak dikabulkan Allah. Makan sebagai berkah dari Allah harus dinikmati dengan benar. Pagi itu mereka lupa semuanya tentang hal itu. Si bungsu gadis kecil itu terus bercerita bagaimana dia tertimpa ikan-ikan yang terjun dari angkasa. Seekor di antaranya berhasil dia tangkap dengan jari-jemarinya yang kecil. Ikan itu menggelepar ingin lepas. Puluhan ekor menggelepar di rerumputan. Sejumlah lainnya meloncat dari atap gubuk.


Namun, tidak demikian dengan ayah dan ibunya. Kedua orangtua itu menikmati makannya dengan tercenung. Diam. Berkelindan dengan tanda tanya. Peristiwa pagi itu seperti memburu keduanya. Mau lari kemana pun akan terus diuber. Berondongan tanda tanya menyergap ke benaknya. Kedua orangtua itu terbenam di antara bunyi kunyahan ikannya.


"Apa yang dimaksud Allah dengan hujan ikan ini?" kata sang suami di dalam hati.

"Apa yang dimaksud Allah dengan hujan ikan ini, tidak perlu kita ketahui," kata istrinya di dalam hati juga.

"Mengapa tidak boleh kita ketahui?" kata suami di dalam hati.

"Berkahnya akan berkurang," kata si istri di dalam hati.

"Mengapa berkahnya berkurang?"

"Karena kita ingin mengetahui suatu rahasia, padahal bersyukur lebih baik."

"Saya tidak mengerti."

"Makanya lebih baik diam."


Percakapan di dalam hati itu kebetulan bisa bersambung. Suami itu tetap diam sambil mengunyah. Istrinya tetap diam juga sambil mengunyah. Terdengar bunyi kunyahan. Gigi-gigi yang menggerus makanan. Leher turun naik seperti mengirim barang dari atas ke bawah. Berapa ekor ikan yang habis dilahap, keduanya tentu tidak menghitungnya. Suami istri itu mencoba untuk berbicara tetapi ragu-ragu. Barangkali apa yang mau dikatakannya penting tapi desakan untuk tidak melakukannya juga keras. Sampai selesai makan keduanya diam untuk sibuk dengan pikirannya sendiri-sendiri.


Banyak tanda-tanda Allah yang tidak perlu diketahui maknanya. Banyak pertimbangan untuk diam dari banyak gejala bagaimana pun musykilnya. Barangkali Tuhan lebih suka begitu. Atau kita sedang mengatasnamakan Tuhan? Bagaimana mungkin kita berani? Kita hanya pura-pura berani, Tuhan tahu itu. Atau kita menyikapi setiap gejala sebagai pahala dan bencana? Sebagai pahala karena kita suka. Sebagai bencana karena kesukaan kita menimbulkan kesedihan bagi yang lain.


Ikan-ikan yang dikumpulkan pagi itu menggunung di dalam gubuk mereka. Berkah itu memusingkan mereka karena ikan-ikan itu tidak boleh busuk. Harus secepatnya digarami. Dari mana bisa didapat garam secepatnya? Keluarga itu tidak punya uang untuk memborong garam. Yang ada hanya sekadar garam persediaan untuk memasak. Ketika kelelahan mengumpulkan ratusan ekor ikan itu memporot tenaga mereka, keluarga itu hanya terduduk diam. Ayah, ibu, dan ketiga anaknya bagai patung yang dipajang di depan buat menyambut tamu yang datang. Tetapi ternyata tidak ada tamu yang datang. Yang bertamu hanya rasa bingung.


Tiba-tiba muncul suatu pikiran di benak sang suami. Ia menyat dari kursi bambunya seperti tersentak oleh berkah yang lain. Dengan cekatan ia merangkai ikan-ikan itu satu-persatu ditusuk dengan tali bambu. Dengan tongkat bambu yang dipanggul cukup banyak ikan yang bisa dibawa. Ia dapat menjual ikan-ikan itu di pasar atau menukarnya dengan garam. Ia berangkat dengan bocah sulungnya. Dengan penuh kegembiraan ayah dan anak itu meninggalkan gubuknya kali ini sebagai penjual ikan. Istri dan kedua anaknya yang tinggal, berdebar melihat kecekatan kerja sang suami dan ayah mereka. Si gadis kecil mau ikut tapi dilarang ibunya. Si kecil tentu tidak bisa berjalan cepat yang hanya akan memperlambat langkah.


Kaki yang kokoh, dada yang bidang, badan yang tegap, tangan yang cekatan, semuanya ini modal yang menjadikan sang suami sebagai kepala rumahtangga yang sigap bekerja. Kini ia dan anak sulungnya menuruni bukit pada jalan setapak yang diapit pohon dan rimbunan tanaman. Jalan setapak itu sehari-harinya licin. Namun kali ini lebih licin lagi, bahkan berlumpur.


Begitu sampai di bibir bukit dan menatap kota di depannya, sang ayah dan anaknya jatuh terduduk, kekuatannya dilolosi. Ikan yang dipanggulnya terserak di tanah. Keduanya meraung sejadi-jadinya: kota telah musnah, ribuan mayat bergelimpangan di mana-mana.



Tangerang, 14 Februari 2006


Judul Cerpen : Lauk Dari Langit

Pengarang    : Danarto

Terbit awal    :

Judul Buku    : Kacapiring

Nistagmus | Cerpen: Danarto

0


SUBUH itu saya dikejutkan oleh suara-suara orang ramai di pekarangan. Istri saya memberi tahu, banyak sekali orang berkerumun di halaman depan rumah dan di jalanan. Istri saya belum menemui mereka. Anak-anak yang bersiap ke sekolah, setelah sarapan, menjenguk lewat jendela. Saya acuh tak acuh. Sudah sering datang orang, satu dua, untuk mengajak ngobrol pelbagai masalah. Saya rasa kali ini juga begitu. Karena istri saya gelisah, saya penasaran mendengar dengung orang-orang gremeneng semakin ramai. Dengan menyingkap kain gorden jendela sedikit, saya melihat orang-orang berderet-deret seperti ngantre minyak tanah, mengular sampai jalanan. Ada apa?


Saya acuh tak acuh. Sudah sering datang orang, satu dua, untuk mengajak ngobrol pelbagai masalah. Selama ini saya memang dekat dengan para tetangga. Sering saya diajak ngobrol tentang berbagai masalah yang dihadapi para tetangga. Di samping para tetangga, juga kenalan-kenalan jauh yang datang dengan kendaraan khusus. Kadang datang berbondong. Tamu pun bisa mencapai sepuluh sampai lima belas orang sehingga rumah jadi regeng, ramai. Kami ngobrol sekitar persoalan yang menyangkut rumah tangga dengan segala nuansanya. Juga tentang hubungan suami istri, menantu dengan mertua, bawahan dengan atasan, persoalan anak dengan orangtuanya, juga masalah percintaan antaranak-anak remaja.


Jika ditanya, saya menjawab sekenanya, sekadar yang saya tahu. Saya tak pernah mengutip kata-kata bijak dari para cendekiawan. Masalah-masalah itu menjadi obrolan yang berkepanjangan. Sungguh menghabiskan waktu. Tapi asyik juga karena hidup di dusun yang sepi sekali-kali perlu mengadakan pertemuan supaya merasakan kemeriahan.


Kadang-kadang saya juga diundang camat, bupati, maupun wali kota, diajak berbincang mengenai berbagai hal yang pelik, yang sama sekali tidak saya ketahui. Misalnya, soal usaha tambak udang, perbankan, perburuhan, pengairan sawah, bibit tanaman, dan banyak lagi sejumlah persoalan yang lagi hangat atau panas di masyarakat yang sebenarnya membuat saya tidak nyaman.


Rasanya camat, bupati, dan wali kota, tidak benar-benar membutuhkan saya. Rasa saya mereka sekadar butuh teman ngobrol. Setelah dua jam pembicaraan ke sana-kemari, lalu kami pindah tempat duduk dan lebih santai sambil ngopi. Dan pembicaraan beralih ke olahraga, misalnya, juga tayangan televisi. Selama pertemuan-pertemuan dengan para tetangga, teman-teman, ataupun dengan para pembesar itu sebenarnya saya banyak diam. Untuk sikap saya itu, saya dijuluki "pendengar yang baik".


Selama ini saya dikenal sebagai penulis obituari (berita tentang kematian seseorang berikut riwayat hidupnya) di surat kabar setempat. Sebagai penulis lepas, mula-mula saya menulis obituari hanya sambil lalu. Karena kematian seorang teman baik yang menjadi tetangga dekat, menyadarkan saya, mengenang lewat tulisan obituari itu mengesankan. Lama-lama saya menulis obituari menjadi semacam panggilan. Cukup menyenangkan. Orang-orang kebanyakan yang mungkin pernah lalu-lalang di depan rumah saya, di sebuah desa yang lengang, yang beberapa hari kemudian dikabarkan meninggal, lalu saya cari alamatnya. Saya interviu keluarganya. Saya catat riwayat hidupnya, pekerjaan terakhirnya, dan berapa orang saudaranya. Obituari yang meliputi orang-orang biasa itu bisa saudara, keluarga, teman, sampai kenalan baru.


Saya bisa memanfaatkan rubrik khusus obituari setiap saat atas kebaikan redaksi koran lokal yang memberi saya kebebasan. Dengan enak saya bisa menulis obituari setiap hari. Pernah kejadian dalam seminggu sepuluh orang. Selama ini tulisan obituari saya sudah mencapai 5.000 orang. Seluruhnya orang- orang biasa, lewat mesin ketik manual yang kemudian berubah ke mesin ketik komputer. Saya menolak ketika diminta menulis obituari orang-orang ternama. Alasan saya, orang-orang terkenal itu sudah banyak penulisnya, sedangkan untuk orang-orang biasa, agaknya hanya saya seorang.


Tulisan obituari itu tidak panjang, sekitar 5.000 karakter. Kadang sampai 8.000 karakter jika orangnya kocak atau punya pekerjaan yang unik. Misalnya, ada seorang tukang becak yang menyerahkan becaknya kepada seorang kepala tibum (penertiban umum) dengan tujuan supaya becaknya dijual untuk mengongkosi sekolah anaknya. Si kepala tibum menolak dengan mengembalikan becaknya sambil mengirim beras 5 kilogram kepada si tukang becak. Ketika beberapa waktu kemudian tukang becak itu meninggal karena faktor usia, saya menulis obituarinya dengan memasukkan wawancara kepala tibum itu.


Ada seorang pegawai negeri yang tidak mau dipensiun karena uang pensiunnya kecil, sementara beban keluarganya besar. Kepala kantor orang itu kebingungan, lalu mencari akal agar bawahannya itu sadar. Masa pensiun pasti datang, sebagaimana kematian itu pasti tiba. Lalu si kepala kantor meminta jasa seorang tukang sulap yang pandai menghipnotis orang. Begitulah. Bawahannya itu lalu dihipnotis hingga tertidur di mejanya. Lalu ia dinaikkan ke dalam mobil, dibawa pulang ke rumahnya. Begitu siuman, ia kaget, kenapa tidur di rumah. Keluarganya memberi tahu, ia seharian di rumah saja, tidak ke mana-mana.


Sejauh ini saya tidak tahu dan tidak berusaha mencari tahu, apa ada yang tertarik membaca obituari saya. Saya yang terus beredar di banyak keluarga yang kematian saudaranya, menyebabkan banyak orang mengenal saya. Barangkali mereka juga membaca obituarinya. Dipasang pula fotonya yang bisa menyebabkan keluarganya tertambat kenangannya.


Lelucon-lelucon pun menyebar dengan semarak di pasar, kompleks pertokoan, ataupun di stasiun bus, yang berkenaan dengan tulisan obituari itu. Banyak komentar. Banyak usulan. Yang jail maupun pelesetan. Dan sebagainya.


"Kenapa kamu tidak lekas mati supaya Pak Jurnalis bisa menulismu sekarang!"

"Biar kamu mati, tak ada yang menulis, meski kamu membayar Pak Jurnalis!"

"Kamu tidak akan mati, sampai kamu menulis riwayatmu sendiri!"


Saya terbahak mendengar lelucon-lelucon itu. Itu semua menyebabkan saya akrab dengan semua orang. Setiap saya lewat atau mampir membeli rokok di kios, selalu saja orang nyeletuk: "Pak Jurnalis. Saya nggak mau ditulis sekarang." Atau ada yang berteriak: "Pak Jurnalis. Ntar saya yang menulis Bapak."


Tapi, ada saja orang yang enggan bertemu atau lebih-lebih ngobrol dengan saya. Ada yang bilang, seseorang yang ngobrol dengan saya, ada yang mengartikan, saya sedang mewawancarainya. Sementara itu ada pula yang bilang, jika seseorang ngobrol dengan saya, itu tanda-tanda orang tersebut mau meninggal. Wah, ini bahaya. Memang ada seorang yang sehabis ngobrol dengan saya, ia meninggal. Tapi ini kebetulan saja. Dari kejadian itu, saya mendapat sebutan yang aneh-aneh, yang saya malas menuliskan sebutan-sebutan itu di sini. Maka ada saja orang yang anti-saya. Ini benar-benar klenik.


"Pak, tinggal di mana?" tanya saya kepada seseorang yang saya pinjami korek api untuk menyalakan rokok saya.

"Maaf, Pak Jurnalis. Saya tak bisa menjawab," jawabnya.

"Lho, kenapa?"

"Maaf, Pak. Tidak kenapa-kenapa."

"Baiklah, Pak."

"Saya permisi, Pak."

"Jangan ditinggal korek apinya ini."

"Biar untuk Bapak saja."

"Lho, kenapa?"

"Maaf, Pak. Tidak kenapa-kenapa."


Inilah sepenggal dialog di pasar sepeda motor dengan seseorang yang enggan bertegur sapa dengan saya karena keyakinan-keyakinan klenik itu. Keterlaluan.


Jadinya lama-kelamaan saya enggan menyapa orang. Saya jadi pendiam dan menyendiri. Di pertemuan-pertemuan desa, saya juga diam dan menyendiri supaya orang nyaman dengan saya. Ketika orang menanyakan pendapat saya, sedikit saja saya ngomong. Lalu malah terjadi serba-salah. Banyak ngomong dianggap meramal, sedikit ngomong dianggap mengetahui peristiwa yang bakal terjadi. Ketika di sebuah toko saya menghindar supaya tidak bertemu dengan seseorang, orang tersebut malah mengejar saya sambil menyapa: "Bapak menghindar dari saya. Apa yang akan terjadi dengan saya, Pak?"


Istri dan anak-anak saya juga merasakan perubahan itu. Ada yang berubah dengan tingkah-laku saya, katanya. Apa ada gejala sesuatu? Tentu saja saya merasa tidak berubah dengan tingkah-laku saya. Saya juga tidak tahu adanya gejala sesuatu. Memangnya saya cenayang. Anak-anak saya, lima orang, terutama si sulung yang duduk di SMA kelas 2, dan si bungsu di SD kelas 5, yang paling kritis. Keduanya cencala (lancang mulut) terhadap sikap saya dalam menulis obituari. Kritiknya tidak berdasar. Menurut mereka, tulisan saya tidak adil terhadap seseorang dan berlebihan bagi yang lain. Jika sampai di sini hal itu masih baik. Tetapi jika sudah menyangkut masalah dosa dan pahala, wah, anak-anak ini sok tahu. Seolah-olah anak-anak ini cukup rajin membaca buku-buku agama. Pernah saya menyergah anak-anak saya itu:


"Dari mana kalian tahu, sebuah tulisan berdosa dan tulisan yang lain berpahala?"

"Dari Ayah," jawab anak-anak itu.

"Kalian ngawur."

"Ayah marah kena keritik."

"Karena keritik kalian membawa-bawa dosa dan pahala."

"Boleh saja, kan."

"Tidak bisa seenaknya begitu."

"Semua orang bicara dosa dan pahala."

"Dalam hubungan apa orang bicara seperti itu."

"Semuanya."

"Nah, kalian ngawur."

"Begini. Ayah pernah menulis obituari. Boleh jadi Allah sudah membuatkan rumah baginya di surga. Nah, ini dosa, karena Ayah memaksa Allah membuatkan rumah baginya di surga."

"Itu harapan saya. Itu doa saya. Itulah usaha sebaik-baiknya seorang penulis obituari," jawab saya.

"Ayah juga pernah menulis obituari seorang pengusaha. Ia meninggalkan seorang istri dengan empat orang anak. Nah, ini pahala bagi Ayah karena Ayah menyembunyikan tiga istrinya dan anak-anaknya yang lain."

"Nah, itu justru kesalahan saya dan saya bisa berdosa karena tidak menulis tiga istri dan anak-anaknya yang lain. Hal itu berarti saya tidak menganggap ada dan penting keberadaan mereka. Mereka bisa tersinggung dan bukan tidak mungkin merasa saya lecehkan."


Mendengar keterangan saya, anak-anak saya itu diam. Saya sering lelah berdebat dengan anak- anak saya tersebut. Mereka suka ngotot dan merasa selalu benar. Padahal saya selalu bilang, kekuatan itu ada batasnya sehingga kita tidak selalu benar. Sebagai ayah, saya mendidik anak-anak saya itu dengan keras. Barangkali karena beban keluarga yang terlalu berat. Lima anak semuanya sekolah, sedang rakus-rakusnya makan, itu semua yang menyebabkan saya sering stres dan mengalami depresi yang tajam.


Kami sebenarnya keluarga bahagia. Penghasilan saya tentu saja jauh dari cukup. Istri saya guru SMP, sedangkan saya sejak remaja penulis lepas, yang untuk makan sehari-harinya saja suka empot-empotan. Saya menulis apa saja, termasuk menulis berita. Di Jogja itulah sejarah saya bermula ketika saya kecantol putri Aceh yang kuliah di UGM. Kami menikah dan pindah ke Aceh dengan gagah berani karena cuma berbekal baju yang kami pakai. Anak-anak mewarisi sifat-sifat ibunya, cerdas dan berani.


Subuh itu saya dikejutkan oleh suara-suara orang ramai di pekarangan. Istri saya memberi tahu, banyak sekali orang berkerumun di halaman depan rumah dan di jalanan. Istri saya belum menemui mereka. Anak-anak yang bersiap ke sekolah, setelah sarapan, menjenguk lewat jendela. Saya acuh tak acuh. Sudah sering datang orang, satu dua, untuk mengajak ngobrol pelbagai masalah. Saya rasa kali ini juga begitu. Karena istri saya gelisah, saya penasaran mendengar dengung orang-orang gremeneng semakin ramai. Dengan menyingkap kain gorden jendela sedikit, saya melihat orang-orang berderet-deret seperti ngantre minyak tanah, mengular sampai jalanan. Ada apa?


Setelah sarapan, dengan malas saya keluar rumah dan duduk di beranda. Barangkali seperti agen minyak tanah yang siap menyambut para pembeli, saya menyiapkan kertas dan alat tulis. Hari baru membuka matanya. Bahkan matahari masih bergelut dengan kasurnya. Jam baru menunjukkan pukul 05.00. Orang-orang yang antre tidak sabar seperti mendengar aum macan, merangsek ke depan meja saya. Orang sekian banyak mau ngajak ngobrol apa? Tentang kesulitan hidup? Beras habis dan anak-anak menangis kelaparan? Orang sebanyak ini mau ngobrol sekaligus?


Mata mereka nanar. Gerakan bola mata yang cepat tanpa disengaja, di luar kemauan, nistagmus, mereka menatap kebenaran, mencecap pencerahan. Alhamdulillah. Mereka berebut duluan menyerahkan selembar kertas di atas meja sehingga sekejap bertumpuk, berserak, lalu semuanya bergegas pergi meninggalkan saya tanpa sepatah kata diucapkan. Lembaran-lembaran apakah ini? Ternyata riwayat hidup dengan tanggal lahir dan masya Allah...tanggal akhir hayat, Ahad, 26 Desember 2004.


Ketika saya menuruni bukit dengan sempoyongan penuh lumpur, entah bagaimana saya bisa sampai di bukit ini, terlihat pemandangan yang menyebabkan saya pingsan. Entah berapa lama saya pingsan. Waktu saya siuman, seluruh kota telah hancur-lebur rata dengan tanah. Mayat-mayat berkaparan di seluruh kawasan. Mayat-mayat itu lebih mengesankan sedang tidur pulas. Seluruh mayat itu, laki-laki, perempuan, tua, muda, anak-anak, bayi, diselimuti lumpur, berserakan memenuhi ruang dan udara, di reruntuhan rumah, di pekarangan, di kebun, di jalan, di atas pohon. Tak ada tanda-tanda kehidupan secuil pun. Bahkan burung-burung, tak seekor pun tampak terbang. Saya tak tahu lagi di mana rumah saya.


Cuaca cerah. Sinar matahari memancar, panas. Awan putih berarak dengan latar langit biru meneduhkan. Saya berdiri sendirian di samping sebuah kapal yang terdampar di tengah kota.



Tangerang, 20 januari 2015


Judul Cerpen  : Nistagmus

Pengarang      : Danarto

Terbit awal      :

Judul Buku      : Kacapiring

Pohon Yang Satu Itu | Cerpen: Danarto

0

Pohon yang satu itu tegak di tengah kota. Membelah jalan besar, lalu-lalang kendaraan bising, pohon itu menjadi monumen hidup. Makin hari pohon itu makin membesar dan meninggi. Sejak malapetaka gempa dan tsunami pada Ahad, 26 Desember 2004, tiba-tiba saja pohon itu sudah mengangkangi kota, seperti muncul dari dasar bumi setelah ribuan tahun tertimbun tanah dan peradaban. Di bawah pohon itu masih bertimbun jenasah-jenasah para syuhada, ribuan jiwa jumlahnya, tak seorang pun kelihatan lewat di bawahnya. Laut telah membungkam segalanya. Laut telah menelan jerit tangis.


Hari demi hari berlalu dengan lengang dan kepedihan. Tak terusik oleh angin, panas terik, dan kenangan. Apa yang bisa dicatat dari derit pintu yang karatan. Apa yang bisa dicatat dari jirigen minyak tanah yang dimain-mainkan gelombang di tengah samudera. Di dalamnya telah merekam peluh dan keluh ibu yang berburu kebutuhan dapur. Ayah telah menyelam ke dasar lautan mencari jawab dari penderitaan sambil membawa anak-anaknya yang tak satu pun ketinggalan. Ibu barangkali telah lebih dulu mengurung diri di bawah rumah sambil menyelesaikan ulekan sambalnya yang belum rampung.


Ketika anak-anak yang menelan nasi goreng sarapannya terakhir lalu melangkahkan kakinya keluar pekarangan rumahnya dengan beban tas bukunya di punggungnya. Tukang kebun sekolah mengangkut sampah dan membakarnya. Jam tujuh pagi semuanya berkejaran dengan waktu. Guru-guru menyeberang jalan menengok ke kiri dan ke kanan, eh, titip kucing yang mengikuti dari belakang. Toko-toko bersiap-siap untuk membuka dagangannya. Lalu-lalang lalu-lintas memburu sesuap nasi guna membangkitkan tulang-belulang gairah hidup.


Ketika udara cerah, panas matahari tak terhalang oleh utang-piutang, tabungan di bank mulai menipis karena belanja yang boros, pertengkaran kecil-kecilan dalam rumahtangga, hidup yang tak hendak--mati yang maunya sendiri, ikan asin yang telah bulukan, o, negeri luhur yang agung, harta karun Nabi Sulaiman yang digondol orang-orang Jakarta, melahirkan kere turun temurun, pesawat-pesawat datang dan pergi, gubernur menatap helikopter yang mengambang di udara, seluruh kawasan berisi kekayaan melimpah bagai dituang dari langit.


Begitulah pohon yang satu itu tegak bagai monumen. Menampakkan diri dari segala jurusan walau tak seorang pun menatapnya. O, pohon, pohon, alangkah kesepianmu. Kamu hanya punya warga yang telah bergeletakan tidur di sepanjang abad, di seluruh pemandangan, di reruntuhan rumah, gedung, kendaraan, di jalan-jalan, di kebun, di sawah, di pohon, di bukit, di atap, dan ditelan laut sepanjang amarah bersama nyanyian dan seruling yang telah lusuh ditiup. Ke sanalah engkau pergi di kedalaman jantung, ke kampung tabungan jiwa yang tak retak.


Pohon yang dari ke hari semakin membesar dan meninggi, pohon dari sejarah, pohon dari jerih payah, jauh dari jangkauan pandang, jauh dari pucuk gunung, jauh dari uluran tangan. Tataplah dengan helikopter coba mencium bau kuncup ujungnya, engkau hanya akan menatap semburat rimbun daunnya yang meninggi lenyap ditelan angkasa raya. Tak sudah, tak cukup mata, manusia yang kesepian, sendiri di alam semesta, menumpang bahtera tanpa tenda, kehujanan, kepanasan, hitam wangimu, putih langsatmu, kesumba birahi di pentas nasib, kau tenteng ke mana jalan yang akhirnya sesat semata, mengaduhlah, mengaduhlah.


Pohon yang lengang. Hari pertama ditelan masa. Hari kedua ditelan ruang. Hari ketiga ditelan rahasia. Hari-hari ditelan angkara murka, tak seorang pun tersisa, ludes semua, udara gelap, tinggal petir di tingkap atap, senandung laju gelombang, angin sakal goyang layarnya, sekianlah segala ucapan, usai sudah pertunjukan. Aceh hikayatmu, Aceh dendangmu, Aceh tarimu, di sinilah pelabuhanmu. Sajak terakhir sudah dibacakan. Bahkan huruf-hurufnya sudah hanyut menyatu dengan gelombang. Tidur di dasar samudera ketiadaan.


Menjulang tinggi bagai galah, menjangkau awan berarak. Menjulang tinggi bagai belalai, merebut titik embun sebelum jatuh jadi hujan. Menjulang tinggi bagai bintang menantang rembulan. Hanyalah pohon. Hanyalah pohon. Rimbun di siang, rimbun di malam. Nyanyian dari jauh yang kepalang datang. Diundang oleh siput, diundang oleh sinar lampu bagan. Pohon bersembunyi pada rimbun daun dari panas matahari. Orang-orang berteduh menguak aduh. Panasnya tujuh. Panasnya gambuh. Semua orang kegerahan namun tak berbekal kipas tapi Tuhan bikinkan tangan dengan lima jari. Daging meluap, penyu dan segala makanan bertaut, hiu memilih rumput laut, vegetarian, dengan kuah tinja meteor.


Hari-hari pohon itu diam menatap ribuan jenasah, puluhan ribu, hari-hari menapaki jejak waktu, hari-hari lengang. Kota mati. Lembah mati. Telah datang tamat yang dinanti-nanti bau kiamat. Hari-hari siang ditutup malam. Hari-hari malam ditutup siang. Terdengar suara-suara orang di dalam rimbunan daun pohon itu. Suara-suara orang. Menjulang. Percakapan orang-orang yang datang dan pergi, berwisata atau sekadar mencari hiburan, sekian hari setelah tsunami, barangkali satu bulan kemudian, dari berbagai propinsi, takjub menatap pohon itu menengadah mencari suara-suara orang ramai yang ditingkah cicit burung-burung maupun tangis bayi.


"Barangkali pohon itu datang dari tengah samudera."

"Pohon yang datang dari langit."

"Pohon sebuah pulau yang tercerabut dari tengah samudera, terbang dibawa gelombang tsunami."

"Pohon yang dilempar di tengah kota seperti kapal-kapal yang berlabuh di antara lalu-lintas ramai pertokoan."


Monumen hidup itu telah menulis catatan harian. Catatan harian sebatang pohon. Suara orang-orang yang terdengar dari dalam pohon itu boleh jadi adalah orang-orang yang selamat memanjat pohon itu ketika kota tenggelam oleh tsunami. Orang-orang tidak mau turun lagi dari pohon, keburu jatuh cinta, karena apa gunanya selalu mengunyah kecemasan. Gelombang itu setinggi gunung yang terus menghampiri dalam mimpi mereka di siang dan di malam. Akhirnya orang-orang yang selamat itu hidup di atas pohon.


Pada tanggal 26 Maret 2005, tiga bulan setelah malapetaka tsunami itu, pada suatu subuh, terdengar tangis bayi dari dalam pohon itu. Orang-orang yang hidup di sekitar pohon itu bersorak. Mereka keluar rumah mendatangi pohon itu dan menatap ke atas seperti ikut berbahagia atas kelahiran bayi itu. Satu dua orang memanjat pohon itu untuk mencari suara bayi itu. Tapi, seperti yang terjadi pada hari-hari sebelumnya, orang-orang yang memanjat pohon itu untuk kepingin tahu apa yang terjadi dengan suara-suara orang di atas itu, tak pernah kembali.


Barangkali itulah bayi pertama yang lahir dari keluarga yang hidup di atas pohon itu. Bayi pertama catatan harian tsunami. Lahir dari seorang ibu yang telah besar kandungannya ketika tsunami datang. Kemudian berita tentang kelahiran bayi di atas pohon itu secepatnya tersebar ke seluruh negeri. Orang-orang dari segala penjuru berdatangan. Mereka mendirikan tenda-tenda di bawah pohon itu untuk mendengar tangis bayi itu. Berhari-hari wisata tangis bayi di atas pohon itu berlangsung meriah karena di samping tenda-tenda, berdiri warung-warung.


Setiap kali terdengar tangis bayi itu, orang-orang piknik itu bersorak. Mereka benar-benar mendapatkan hiburan. Satu dua orang mengikatkan makanan di ranting-ranting pohon itu dengan harapan orang-orang pohon itu mau mengambilnya, tak mendapat jawaban. Kue-kue itu menjadi makanan burung yang ikut memeriahkan tangis bayi itu. Satu dua orang mau memanjat pohon itu tapi orang-orang warung melarangnya, kecuali kalau berani untuk tidak akan kembali ke tanah lagi.


Pada bulan Agustus 2005, ketika orang-orang Eropa dari tim pemantau perdamaian di Nanggroe Aceh Darussalam berdatangan, sempat pula menengok pohon itu. Tapi mereka kelihatan acuh tak acuh. Agaknya mereka tidak begitu percaya tentang orang-orang yang hidup di atas pohon itu, telah beranak-pinak, dalam cara-cara di luar semesta. Mereka mengangguk-angguk sebentar lalu pergi tanpa memberi komentar. Sebaliknya dengan warga kita, makin hari makin banyak yang berdatangan. Lelaki, perempuan, tua, muda, anak-anak, juga bayi, hidup dalam tenda-tenda. Bahkan ada yang membuka usaha di sekitar pohon itu dengan membuka toko kebutuhan dapur.


Untuk sejenak, kesedihan dilupakan. Hidup sebenarnya tidak sesederhana malapetaka tsunami. Hidup adalah alam semesta.



Tangerang, 20 Januari-Agustus 2005


Judul Cerpen     : Pohon Yang Satu Itu

Pengarang        : Danarto

Terbit awal        :

Judul Buku        : Kacapiring

Telaga Angsa | Cerpen: Danarto

0

Pemandangan panggung malam itu dipenuhi puluhan ekor angsa putih menyebar memenuhi telaga. Kaki-kaki jenjang putih para balerina meluncur ke sana kemari. Membentuk komposisi yang senantiasa berubah. Angsa-angsa putih menyelam, menyembul, dan mengepak beberapa saat di atas permukaan air, lalu mendarat kembali. Mereka saling memagut dan bercinta. Asmara angsa, adakah yang lebih indah waktu tubuh bergetar, bulu-bulu bergetar ketika mencapai puncak.

Annisa Zahra disadarkan oleh zefir, angin sepoi-sepoi, yang mengelus rambutnya. Gadis ini masih mengenang adegan-adegan dalam pertunjukan balet ”Swan Lake” yang baru saja usai.

Zahra, balerina 21 tahun, tidak minum wine, yang putih maupun yang merah. Dia memilih minum air jeruk nipis, kegemarannya. Dalam pesta yang disuguhkan oleh Yayasan Jantung Indonesia, sebagai sponsor pertunjukan, Zahra menemani para pebalet dari Negeri Tirai Besi itu. Begitu pula para pebalet teman Zahra, tampak berseliweran di antara para pebalet yang tinggi-tinggi dan besar-besar itu, ayu dan ganteng. Mereka tidak menunjukkan kelelahan sedikit pun meski pertunjukan dua jam itu mengalir terus. Maya Ivanova, Natalya Ashikhmina, Irina Ablitsova, Andrei Joukov, Maxim Fomin, para pebalet pemeran utama dalam lakon itu di antaranya, ngobrol dengan para pejabat bank Indonesia, gubernur, menteri, dan pembesar negara lainnya. Tampak Viatcheslav Gordeev, Direktur Artistik Russian State Ballet of Moscow pertunjukan ”Swan Lake” itu, yang ditemani balerina Masami Chino, ngobrol dengan gubernur.

Dengan meminta maaf karena gedung pertunjukan tidak representatif bagi tontonan segigantik balet Rusia, gubernur berjanji, insya Allah, dalam waktu dekat akan membangun panggung balet semegah Moscow. Sementara itu Zahra getol bercerita macam-macam kepada para tamunya. Di antaranya di tempat ini, pernah berpentas Martha Graham, Alvin Nikolai, juga grup dari Perancis, Jerman, dan modern dance dari Eropa lainnya yang memainkan repertoar ”Le Sacre du Printemps” karya Igor Stravinsky.

Zahra juga banyak mendulang informasi dari Maya Ivanova dan Natalya Ashikhmina, pemeran Odette secara bergantian dan Andrei Joukov dan Maxim Fomin pemeran Siegfried bergantian, tentang balet di Rusia. Sebaliknya, para pebalet Rusia itu mengagumi kecantikan dan rambut panjang Zahra dan apa saja perannya dalam balet di Indonesia. Lalu bergabung ikut ngobrol pula, Irma Ablitsova pemeran Odille dan Dmitry Protsenko serta Vladimir Mineev, pemeran Rothbart bergantian. Mereka rame-rame menikmati salad, sup ikan tuna, plain croissant, buah-buahan, dan jus jambu kelutuk.

Dengan 1.500 penonton, Russian State Ballet of Moscow memainkan ”Swan Lake” karya Tchaikovsky yang sudah melegenda, sangat populer di seluruh dunia. Lakon ”Swan Lake” menceritakan dayang-dayang istana dan ratunya, Odette, yang disihir Rothbart menjadi angsa. Siang hari mereka adalah angsa yang merenangi telaga. Baru pada malam hari mereka menjelma manusia kembali. Hanya cinta sejati yang mampu mengalahkan sihir itu. Pangeran Siegfried, pemilik istana dan telaga, jatuh cinta kepada Odette. Namun cinta mereka terhalang oleh sihir Rothbart yang ampuh.

Di samping mencoba menggagalkan percintaan Siegfried dengan Odette, Rothbart sang penyihir, memamerkan putrinya, Odille, yang secantik Odette, untuk merebut cinta Siegfried. Usaha Rothbart berhasil. Pangeran Siegfried langsung terpikat pada Odille. Mendengar kabar ini, Odette dan dayang-dayangnya jatuh sedih.

Siegfried sadar. Secepatnya Siegfried menyatakan pilihan cinta sejatinya hanya pada Odette. Seketika, angsa itu menjelma Odette, begitu juga puluhan ekor angsa yang lain. Rothbart marah besar. Namun Siegfried mampu menewaskan Rothbart dan pasukan angsa hitamnya. Begitulah, seluruh istana bergembira. Dan pesta pernikahan Siegfried-Odette selama tujuh hari tujuh malam pun digelar dengan meriah.

Pesta para pebalet Rusia dan para pebalet Indonesia malam itu seperti menandai suksesnya pertunjukan ”Swan Lake”. Sekalipun dengan mata terpejam, siapa pun tak bakal salah memilih, semua balerina itu elok: Tatiana Protsenko, Eugenia Singur, Tatiana Chungunkina, dan Anastasia Baranova, adalah para pemeran angsa kecil. Sedang para pemeran angsa gede adalah Svetlana Ustyuszhaninova, Oxana Gasnikova, Olga Ivachenko, dan Anna Vakina.

Zahra menonton pertunjukan itu bersama keluarga, ayah, ibu, kedua adiknya, kakek dan neneknya, juga tante dan oomnya. Pagi harinya kakek berdiri lalu meliuk-liuk menirukan gerakan balet yang membuat semuanya tertawa.

”Awas. Eyang bisa kesleo, lho,” celetuk Zahra sambil memasukkan potongan roti lapis kacang dan cokelatnya ke dalam mulutnya.
”Eyangmu ini tadi malam kan kepincut sama si Maya,” celetuk Nenek.
Semuanya tertawa, sampai Kakek terbatuk-batuk.
”Terpikat boleh terpikat, asal encoknya tidak ketahuan sang balerina,” sambung Oom sambil menyenggol Tante.
Semuanya tertawa. Kakek terbatuk-batuk lagi.
”Odette atau Odille, saya sih, cocok-cocok saja,” tukas Kakek.
”Apa, sih, yang ndak cocok bagi kamu,” tukas Nenek.
Semua tertawa.
”Tapi, saya tidak setuju dengan kostum para penarinya,” kata Kakek.
”Lho, memangnya kenapa?” tanya Zahra.
”Itu kan mengumbar aurat,” sambung Kakek.
”Aurat yang mana?” tukas Zahra. ”Semuanya kan tertutup rapat.”
”Tapi kesan telanjangnya kan jelas.”
”Kesan. Kesan. Aduh, Eyang. Jika kita bicara soal kesan, semuanya terkesan jelek.”
”Jangan begitu,” sanggah Kakek. ”Saya sungguh risi dengan kostumnya.”
”Rasa risi tidak relevan dengan Swan Lake, Eyang.”
”Jangan begitu,” sergah Kakek lagi. ”Saya serius. Melihat kostumnya, pertunjukan itu harusnya disensor.”
”Eyang kok tiba-tiba jadi diktator,” tukas Zahra. ”Itulah kostum yang paling pas untuk lakon ”Swan Lake”.”
”Wah, bubar, deh, peradaban.”
”Wah, wah, wah, Eyang ini gimana, sih. Habis jadi diktator, mendadak berubah jadi filosof.”
”Eyang yang kasmaran, kok yang disalahin balerinanya.”

Semuanya tertawa, kecuali Kakek.

Ruang makan itu berubah jadi ruang pesta pagi hari. Meriah. Obrolan berubah jadi perdebatan. Grup balet Rusia ini sudah melanglang buana.

Ini kali pertama kakek dan nenek nonton balet. Zahra melanjutkan obrolannya:

”Waktu grup balet Zahra memainkan Swan Lake, kostum Zahra ya seperti itu.”
”Mati orang kuburan!” potong Kakek kaget.
Semuanya tertawa kecuali Kakek.
”Kok Eyang jadi sewot?”
”Mempertimbangkan kostum itu, Swan Lake dapat dikategorikan sebagai pertunjukan pornografi dan pornoaksi,” sambung Kakek.
”Mati orang kuburan!” potong Zahra.
Semuanya tertawa kecuali Kakek.
”Bagaimana parameternya?”
”Bagian-bagian tubuh tampak disengaja sangat menonjol.”
”Saya heran, kok Eyang sampai segitunya. Ada yang jauh lebih subtil yaitu bentuk tubuh secara utuh. Jenjang kaki yang panjang dengan bentuk yang indah—laki-laki maupun perempuan—dalam menopang torso yang sepadan yang melahirkan kelenturan gerak bagai kijang.”
”Harus dicari kostum yang lebih cocok dengan budaya setempat,” sambung Kakek.
”Eyang benar-benar lowbrow, ” sergah Tante.
”Apa?” tanya Kakek.
”Eyang dianggap tak menghargai kebudayaan,” kata Oom.
”Justru karena saya sangat menghargai kebudayaan, maka saya marah menyaksikan penampilan para pebalet Rusia itu.”
Zahra menukas, ”Kalau pendapat Eyang dilaksanakan, runtuhlah kebudayaan.”
”Omong kosong!” sergah Kakek. ”Kalian keras kepala!”
Semuanya tertawa kecuali Kakek.
”Kita harus mempertahankan adat ketimuran kita,” cetus Kakek.
”Adat ketimuran kita adalah KKN,” sewot Zahra.
”Dalam KKN ada tradisi, pesakitan KKN selalu jatuh sakit kalau mau diadili.”
Semuanya tertawa kecuali Kakek.
”Jangan melecehkan negeri sendiri,” sela Kakek.
Mendengar kata Kakek ini, semuanya menyanyi kecuali Kakek: ”Bagimu negeri, jiwa raga kami…”

Oleh orangtuanya, Zahra diperkenalkan pada balet sejak balita. Puluhan kali dia berpentas balet di kota-kota besar.

”Kostum ketat itu, Eyang,” kata Zahra. ”Adalah tradisi balet. Seperti para perenang yang hampir-hampir telanjang ketika bertanding di kolam renang, begitu pula kostum ketat balet memudahkan untuk bergerak menari.”
”Jadi tanpa mempertimbangkan moral dan agama?” tukas Kakek.
”Moral dan agama ada pada keindahan kesenian itu. Kalau Eyang puas atas pertunjukan balet Rusia itu, ini artinya balet Rusia itu telah berdakwah tentang kebenaran.”
”Sekalipun mereka ateis?”
”Sekalipun mereka ateis.”
”Sungguh saya tidak paham jalan pikiranmu, Cucuku.”
”Hati orang siapa tahu, Eyang. Kita bisa menuduh mereka ateis, tapi dari mana kita tahu bahwa mereka ateis? Obrolan kita ini sudah melenceng. Harus dipisahkan antara rakyat dan negaranya. Betapa luhurnya seseorang yang tidak percaya akan Tuhan, namun tariannya memberikan pencerahan kepada kita yang shalat lima kali sehari, bukankah itu artinya mereka telah berdakwah tentang keluhuran? Seandainya benar mereka ateis, mereka itu hanya belum sempat mendapat hidayah dari Allah saja. Barangkali besok, atau lusa, atau setahun lagi?”
”Seorang ateis bagaimana mungkin mendapat hidayah Allah?”
”Jiwa manusia itu seluas alam semesta, Eyang. Janganlah berputus asa akan belas kasihKu, kata Allah.”
”Tapi omongan kamu itu kan cuma teori.”
”Mereka telah menari dengan anggunnya, Eyang. Dan itu bukan teori. Mereka telah berbakti kepada Dewi Keindahan. Dalam hidup para balerina dan balerino itu, setiap hari yang dipikirkannya hanya keindahan. Alangkah juwitanya pandangan hidup mereka.”
”Mereka hanya berbakti kepada Dewi Keindahan. Bukan kepada Tuhan.”
”Eyang kok selalu curigesyen terhadap iman orang lain yang tidak dikenal.”
Semuanya tertawa kecuali Kakek.
”Kita harus membedakan antara iman warga negara dan iman negaranya,” kata si Oom.
”Banyak negara yang busuk, sedang warga negaranya mudah lolos ke surga,” tambah Tante.
”Coba, saya dikasih contoh,” sergah Kakek.
”Contohnya tidak usah harus beli tiket pesawat,” jawab Tante.
Semuanya tertawa kecuali Kakek.
”Apa yang sedang terjadi atas Eyangmu ini, saya cuci tangan,” tambah Nenek. ”Kok sekarang berubah jadi one dimensional man.”
Semuanya tertawa kecuali Kakek.
”Saya pusing mendengar pikiran-pikiran anak muda sekarang,” tukas Kakek.
Kecuali Kakek, semuanya membaca puisi Gibran Khalil Gibran:
”Anakmu bukanlah anakmu. Anakmu bukan milikmu. Mereka putra-putri Sang Hidup yang rindu pada diri sendiri…..”
”Eyangmu itu pantas jadi polisi moral, Zahra,” tukas Nenek.

Lengang sejenak. Seperti tercium setan lewat.

Zahra melanjutkan obrolannya: ”Wajah Allah itu memancar memenuhi alam semesta dan kita makhluk ciptaannya dapat menatap Wajah itu secara gamblang. Ada api yang menyala-nyala. Ada air yang mudah mematikan api. Ada tanah yang bisa menumbuhkan padi sehingga kita tidak kelaparan. Ada angin yang tidak kelihatan yang membuat kita bernapas hidup puluhan tahun. Ada zat yang mendorong kita beranak-pinak. Dan ternyata Allah itu indah, Allah mencintai keindahan.”

”Kita juga memiliki keindahan tradisi. Kita wajib memeliharanya.”

”Saya setuju, Eyang. Cobalah nikmati tari bedoyo. Dalam dandanan kebaya pinjungan, menyembulkan semburat merah jambu gunung kembar yang menjenguk lewat dada yang lebar terbuka. Para pujangga menyebutnya ”Glatik Nginguk” artinya ”Burung Gelatik yang Menjenguk” yang membuat dada para raja dan pangeran ”mak-sir”, tergetar. Mendorong keanggunan sembilan penari yang gemulai dalam balutan kain yang ketat. Dalam balet, seorang penari harus lebar-lebar merentangkan kakinya supaya bisa terbang, sedang dalam bedoyo para penari bahkan untuk berjalan biasa saja, cukup sulit, itulah keunikan tiap tradisi yang mewariskan budaya dunia. Suatu dakwah keindahan tiada tara.”

Tukas Kakek: ”Tidak ada pornografi dan pornoaksi dalam tari bedoyo.”

”Sebagaimana balet, tidak ada pornografi dan pornoaksi,” sambung Zahra.



Tangerang, 14 Februari 2006

Judul Cerpen  : Telaga Angsa
Pengarang      : Danarto
Terbit awal      :
Judul Buku      : Kacapiring